Surat Cinta Suci (Karya : Aziz Darmanto)
SINOPSIS
Konsekuensi jatuh cinta pada orang yang ternyata bukan menjadi pilihan Allah adalah harus siap merasakan sakit. Hari itu, kenangan menyakitkan bagi Ikbal kembali menyeruak di balik bayang rintik hujan yang menjebaknya. Ikbal menyadari hari-hari penuh rasa salah, saat ia dekat dengan wanita bersama Suci – sahabat yang secara diam-diam Ikbal menyimpan rasa padanya. Pengharapan terhadap manusia memang selalu berujung kecewa. Sebuah kejadian membuka fakta ternyata Suci tidak menaruh hati pada Ikbal membuat Ikbal sadar, bahwa jika jatuh hati karena Allah, maka harus mencintai orang dicintai dengan cara yang Allah cintai. Jika tidak, rasa sakit sudah menanti.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hampir satu jam
aku berteduh di halte depan kampus. Hujan setia membasahi bumi hari ini. Ada
sebersit kenangan bersembunyi di balik bayang rintik hujan yang kerap kali
mengusik hati. Sebuah kerelaan dan pengikhlasan akan keteguhan hati
merelakannya.
***
“Aku sudah di
depan halte nih, kamu di mana? Udah mendung banget, takut nanti keburu ujan.”
sebuah SMS masuk di hape-ku.
“Sebentar
lagi.Ini udah selesai kok. Tinggal nunggu Bu Siti keluar kelas.” balasku menerangkan.
Seperti biasa,
pulang sekolah adalah waktu yang selalu kunanti. Begitu juga dengan Suci, teman
satu sekolah. Rumah kami berdekatan, wajar apabila hubunganku dengannya juga
cukup akrab. Terlebih kami sudah saling mengenal satu sama lain sejak SMP, di
mana kami juga berada di sekolah yang sama. Pulang sekolah terbiasa bersama.
“Hei, udah lama
nunggunya?” sapaku pada Suci yang sedang duduk di bangku halte. Wajahnya
meringis menampakkan rasa jenuhnya.
“Ih, lama banget.
Tuh jadi keburu ujan kan.” Suci mendengus kesal.
“Maaf, Ci. Tadi
Bu Siti lama banget keluarnya.” jelasku.
“Deres banget
ini hujannya. Kamu pakai jaketku deh. Kita terobos hujannya, daripada nanti keburu
jadwal film kita kelewat.” Aku menyarankan Suci memakai jaketku supaya bisa
berangkat ke bioskop tempat kami janjian nonton film terbaru seusai pulang
sekolah.
“Tapi nanti kamu
keujanan gimana?”
Tanpa berkata-kata
lagi, langsung kukenakan jaketku ke Suci. Suci tampak merona pasrah. Khawatir
akan kelewat jadwal tayang film yang sudah kami pesan, aku dan Suci lantas
bergegas menuju bioskop dengan menaiki motorku.
“Bal, tunggu
dulu ya. Aku mau ke toilet sebentar. Titip tasku, yah.” Sesampainya di lokasi, Suci
menitipkan tasnya padaku. Dia tergesa-gesa menahan rasa kebelet. Sampai ketika Suci
masuk toilet, hape-nya bergetar.
Sebuah SMS masuk dari seseorang di kontaknya yang diberi nama Yusuf. Aku
abaikan saja, karena kupikir jika kubuka nanti Suci pikir aku tidak sopan.
Belum lama
getaran SMS pertama masuk, kemudian disusul getaran kedua, ketiga, hingga
keempat – masih dengan orang yang sama, Yusuf. Aku penasaran dibuatnya. Tak
dapat menahan penasaran, kubuka SMS tersebut.
“Ci, besok kita
jalan ke taman, yah. Aku ada sesuatu untuk kamu di tanggal jadian kita yang
udah dua bulan ini.” tulis isi SMS tersebut. Aku terperanjat membacanya. Timbul
pertanyaan dibenakku, apakah Suci sudah memiliki pacar?
“Hei, kok
bengong?” Suci mengejutkanku. Tiba-tiba dia sudah berada di depanku. “Loh, kok
kamu berani buka-buka SMS-ku, sih, Bal?” Suci yang sadar SMS-nya kubaca,
menunjukkan ekspresi geram.
“Ci, Yusuf
siapa?” tanyaku menginterogasi.
“Memang kenapa,
Bal? Kok nanya-nanya dia?” balasnya heran.
“Dia pacar
kamu?”
“Iya, Bal. Kamu
kenal dia?” jawaban Suci dengan lugunya terasa amat perih menikam hati. “Kamu
kenapa sih, Bal? Memang salah aku pacaran sama Yusuf?”
“Aku nggak
nyangka, Ci. Aku kira kamu –“ ucapanku terhenti. Perih di dada membuat lidah
kaku. “Ci, aku suka sama kamu. Setiap kita bersama, aku semakin ada rasa sama
kamu. Tapi, kok kamu malah jadian sama yang lain?” curahan hati kejujuranku
yang terang-terangan tumpah dari mulutku.
“Tapi, Bal, aku
kira kebersamaan kita ini hanya sebatas sahabat. Aku nggak pernah berpikir
untuk lebih. Aku nggak pernah sadar ternyata kamu ada rasa sama aku. Bal, mohon
maafin aku. Tapi aku hanya ingin kita hanya bersahabat saja. Itu juga sudah
cukup bagi kita, sudah cukup ngebuat kita bahagia bukan?”Sudah cukup. Aku tidak
ingin mendengar ucapanya lagi. Semakin dalam menusuk relung hati ini. Dia
berhasil membuat lebam dan membiru hatiku. Aku berbalik badan, lantas pergi
meninggalkan Suci tanpa kembali menghiraukannya. “Bal, tunggu –“ teriaknya.
Tapi aku tetap beranjak menjauh dan memalingkan wajah untuk menutupi ekspresi
sendu yang sudah tak terbendung.
Ada kalanya,
harapan tidak sesuai kenyataan. Mungkin karena berharap pada yang salah maka
kenyataan akan selalu menyakitkan. Luka yang kemarin diberikan Sucipadaku,
mengingatkanku akan pesan dari Ibu, “Nak, kamu nggak boleh deket banget sama
cewek. Di umur kamu saat ini, gejolak asmara lagi tinggi-tingginya. Yang wajar
aja deket sama ceweknya. Lagipula ingat, kamu Muslim, harus jaga izah, nggak
boleh berduaan apalagi sampai cinta-cintaan sama yang bukan muhrim. Bahaya.”
Kata Ibu.
Aku baru sadar,
andai sejak awal aku mendengar nasihat Ibu, mungkin tidak akan sampai patah
hati seperti ini. Aku payah menjaga keistiqamahanku sebagai Muslim seperti yang
Ibu katakan. Tapi bukankah ini belum terlambat? Bukankah aku masih bisa
mengobati luka ini? Dan menjadikan hati ini lebih baik dari yang sebelumnya?
***
Temaram lampu
kamar mewarnai malam yang syahdu ini. Kejadian menyakitkan tadi sore
seakan-akan mengajakku untuk belajar memahami makna cinta yang sesungguhnya.
Dengan penuh penyesalan sekaligus semangat baru, kuambil pena dan secarik
kertas untuk menulis pesan suci yang sengaja kutujukan untuk Suci. Karena menulis
adalah caraku untuk bangkit.
“Assalamu’alaikum, Ci…
Maaf atas sikapku tadi sore ke kamu. Aku tahu aku
terlalu berlebihan, namun ketahuilah pula, rasa yang ada pada seorang manusia
terkadang bisa menjadi duri yang mampu menikam kapan pun jika kita salah menempatkan
rasa tersebut. Aku tahu aku telah salah menjatuhkan hati, bukan karena kamu,
tapi karena aku tidak bisa menjaga izahku sebagai seorang Muslim yang
seharusnya menjaga jarak dengan yang bukan kekasih halal. Namun, kerap kali aku
tak mampu mengendalikannya hingga rasa itu menjadi liar dan menjadi duri yang alhasil
tadi sore menikam hatiku.
Aku tahu itu perih, tapi bukankah janji Allah,
sesudah kesulitan ada kemudahan? Ya, setelah gelap ada cahaya. Aku menganggap
kejadian tadi sebagai terguran dari Allah atas kesalahanku.Aku kini tersadar
kembali. Terimakasih banyak, Ci, sudah membuatku belajar banyak. Mengajariku
untuk dapat kembali istiqamah di jalan-Nya, istiqamah menjaga hati hingga nanti
waktunya tiba. Hingga waktu Dia mempertemukan kekasih pilihan-Nya denganku.
Harapku, kamu pun demikian. Mungkin saat ini, kamu
bahagia bersama kekasih yang belum tentu jodohmu, namun ketahuilah: itu salah. Wanita
yang baik adalah untuk lelaki yang baik pula. Dan untuk mendapatkan yang
terbaik tidak mungkin dapat ditemukan melalui pacaran, melainkan dalam
kesabaran memantaskan diri di hadapan-Nya dan menerima segala ketentuan-Nya.
Semoga kamu dapat menyadarinya dan dapat kembali
kejalan-Nya sebagai wanita Muslimah yang dapat menjaga izah dari yang bukan
muhrimnya. InsyaAllah, keistiqamahanmu akan dibalas dengan yang terbaik dari
Allah. Fokuslah memantaskan diri dan jadilah wanita Muslimah seutuhnya.
Sekali lagi, terima kasih, Ci. Wassalamu’alaikum…
Ikbal Prasetya
***
Plak! Bobi teman satu
kampusku sekonyong-konyok menjitak kepalaku halus, tanda persahabatan.
Membuyarkan lamunanku akan cerita masa lalu bersama Suci yang telah jauh
kutinggalkan.“Woi, Bang Ikbal, bengong aja. Mikirinapa sih?” tanya Bobi dengan
suara paraunya yang khas.
“Ah elu, Bob.
Ngagetin aja. Kalau gue jantungan, mau tanggung jawab?” tegurku kesal. “Baru
balik lu? Kok baru keliatan?”
“Iya nih, balik
bareng yuk,daripada lu bengong nggak jelas di sini sendirian. Lagian ujan juga
udah reda, kalau nanti-nanti ujan lagi baru tau rasa.” ajak Bobi mengajakku pulang
ke indekos kami yang berada satu atap. Bahkan ucapan Bobi barusan membuatku
sadar, lamunanku akan kisah masa lalu tadi membuatku tidak engah kalau hujan
telah reda.
“Oke, jadilah,
Bob. Ayo balik…” Aku dan Bobi langsung bergegas meninggalkan halte kampus
menuju indekos kami.
Masa lalu selalu
mengajarkanku dan membuatku istiqamah hinggasaat ini menyendiri dalam
pemantasan. Aku selalu percaya bahwa lelaki yang baik untuk wanita yang baik
pula. Maka jika aku ingin mendapatkan cinta dari wanita terbaik menurut
pilihan-Nya, aku harus senantiasa memperbaiki diri. Mengisi hari dengan ibadah,
belajar, dan mengembangkan potensi diri hingga waktu yang akan menjawabnya,
***
Semarang, 22 September
2018
BIODATA PENULIS
Penulis bernama Aziz Darmanto. Lahir
di Jakarta, 10 Desember 1997. Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Prodi Ilmu Politik yang hobinya mancing dan bermimpi bisa kuliah
S2 di Eropa. Prestasi yang pernah ia raih salah satunya ia pernah menjadi juara
1 lomba cerpen nasional mahasiswa di UNPAD Bandung. Bisa ditemui via instagram
@azizd_dm.
Komentar
Posting Komentar