Berpulang Ke Tubuh Uma (Karya : Muhammad Rifki)


/I/
Pulang..Pulanglah. . .
Sedang doa-doa terus mendaki ke ruas-ruas tubuh ibu.Melalui sekat-sekat kulit wajah yang basah, sementara airmata menggenang di rongga keriputnya.
Ibu pamit.Semenjak tubuh telah dipungut renta, tak satupun hati ingin berkoar pisah. Maka lahirmu, sebagai anak-anak yang digugu rantau oleh jarak dan waktu, akan pulang satu demi satu menemui kubur ibumu.
Pulanglah . . .
Pulanglah. . .Pulanglah ke tubuh uma.
Umanan pulang kepada-Nya.
/II/
Sedangkan ibu, di sisa usia menakar kesepian dengan kerinduan.
Tubuh ringkihnya menyimpan remah-remah lesu oleh kesepian mendalam.Sedang airmatanya masih tercecer di ruas-ruas pembaringan, tempat tubuhnya bersemayam. Kepada anaknya yang masih menghuni tanah rantau dan belum bertitip kabar akan kepulangan. Ia sadar tubuh wanitanya, sebentar lagi akan berpamit.
Pulanglah, segera! Tak ada kabar yang tersiar melalui gemerisik angin, selain semerbak kerinduan yang belum pecah.Sementara orang-orang rumah masih menitipkan tangis di samping tubuh ibu.Yang tersisa hanyalah kepulangan yang belum berkabar.
Setelah kematian ibu, nenek menjadi seperti batu, lebih sepi dibanding malam tanah kuburan. Sehabis hari persaksian mayat ibu, ia menjadi wanita tua sepi yang merindu cucu di tanah rantau. Tampaknya kerinduan ibu yang belum lunas, tersalur melalui mata dan hatinya.
Merinduku. . .
Sementara abah menetap dan mengurung dirinya ke rumah datu.Kesedihan ditinggal ibu, membuatnya cengeng dan berpulang ke rumah masa kecil.  Namun berbeda dengan nini, ia menjelma wanita tua yang lebih dingin dari tulang belulang tubuh tengah malam. Remah-remah sunyi menetap di ruas wajahnya.Kesedihannya tak tertambat, terus mengalir.
Wanita tua itu, hatinya linglung. Hari-harinya dihabiskan mondar-mandir tak karuan, ke sana ke mari. Mencari pelampiasan rindu yang kian mencakar-cakar.Ia tak mengerti simbol-simbol kata, suara jarak jauh ataupun gerak yang bisa membaca wajah anak cucunya melalui layar smartpone. Yang ia pahami, ia merindukan semuanya. Anak, cucu, acil, amang, semua keluarganya.
Pulanglah. . pulanglah. . .
Sepi menghuni utuh tubuh ringkihnya.Tak ada suara selain keluh kesah dan penantian yang tiada surut saban hari.Telivisi, kulkas, hp, semua terjual.Tampaknya kesepian telah merampas hartanya, selanjutnya kesehatannya.
Begitupun amang seringkali berkisah, bahwa nini akhir-akhir ini hanya mampu berbaring menikmati pembaringan.Rumah tak ada apa-apa lagi, selain dipenuhi oleh rak-rak lemari usang dan foto-foto tua keluarga saat ibu masih hidup. Adapun lainnya, seperti tv ataupun hp, sudah ia buang semua jauh-jauh. Baginya, itu hanyalah racun pengganggu.
Karena, itu semua, ia tak butuh . .
Yang ia butuhkan, adalah kepulangan kami; aku dan acil-acil yang terlalu nyaman menunda pulang.
/III/
Ia duduk sendiri. Menghembuskan nafas. Telpon hanya disahut dering kosong tanpa balas. Anak-anaknya tak ada satupun yang ingin berpulang dan menjawab rindunya.Cucunya, seperti membenci hidup tuanya dan meminta untuk bersegera mati.
“Ma, pian mau ke mana. Iki insyaAllah akan pulang minggu ini. Idah, Diah, Tikah akan pulang, ma. Mama tak usah khawatir. Mama berbaring saja di rumah. Jangan biarkan kesedihan menguasai pikiran dan tubuh pian. Sabarlah, ma..”
Wanita itu, dengan dastar bunga-bunga tersenyum dangkal.Matanya mengembun tebal, lalu semua terasa gelap.
Amang cemas.Nini mendadak jatuh.Tubuhnya memar karena menghantam tanah.
Malam itu jua, secepatnya, semuanya, segera!
Pulanglah. . . pulanglah. .
“Tikah. . .Pulanglah, di manapun kalian. Cepat pulanglah..sebelum doa-doa dan maaf akan terhenti mengalir dari mulut uma. Tak akan ada yang bisa mengganti dan membeli doa seorang mama pada anaknya..”
“Tak bisakah rindu itu dibayar melalui video call, mang. Ulun sibuk. Belum ada tanggal untuk berpulang..”
Siapapun, di manapun, pulanglah. . .
“Diah, pulanglah.Uma sudah terlalu ringkih untuk menanggung sepi dan rindu sendiri.Selagi doa-doa dan maaf masih ada. Pulanglah sebentar saja untuk menemuinya..”
“Tak bisakah melalui video call saja, mang. Tak bisakah tunggu lebaran saja.Ulun lagi sibuk, mang, banyak sekali kerjaan di sini.”
Cepatlah pulang, pulanglah. . .
“Idah, pulanglah. . . setidaknya pian yang harus pulang. Mama sudah lelah menanti, selagi doa dan maaf masih ada.”
“Insyaallah, mang.Insyallah.”
Dan, terakhir, sekali lagi, pulanglah. . .
“Ki, kapan pulang.Nini merindukanmu.Tubuhnya rapuh.Sesekali tukarlah waktu sebentarmu untuk nini.Dia merindukanmu sebagai cucunya.Mengapa terlalu nyaman menetapkan tubuh di tanah rantau, ki?Temui nini di kampung halaman. Berapa tiket dari Jakarta ke Banjarmasin, biar amang yang bayar. Asal kau pulang.Tak rindukah dirimu dengan kubur ibu, ninimu, abahmu, adikmu. Pulanglah, ki..”
/IV/
Nenek mungkin akan tetap menangis, meski semua telah berkumpul di rumah. Datang sesuai permintaan amang.Semua keluraga memang telah berpulang ke kampung halaman.Namun masih tak ada obat untuk rindu itu dapat disembuhkan, meski sesama tubuh yang tepisah dari jarak-jarak yang jauh itu telah menyatu dan bertemu.
Anak-anak dan cucu telah berubah.Tak ada lagi pemecah kidung sepi.Usia tua membuat wanita itu melupa banyak hal, bahwa waktu tidaklah menetap sama. Bahwa waktu akan terus beranak-pinak. Bahwa kerinduan yang ia harapkan tak akan ia temukan lagi. Seharusnya kerinduan yang ia idamkan menjadi buah penghibur, untuk nelangsa sedih usai hatinya pecah ditinggal pergi kematian ibu.
Yang ada orang-orang di rumah, semua asyik masing-masing.Hening.Tak ada mata dan lidah yang basah bercerita atau ungkapan kerinduan.Membuat sakitnya semakin sakit.Semua sibuk menimang-nimang jemari di atas layar segi empat.Tak ada sendau gurau.Sampai magrib bertemu isya.Seharian, orang-orang rumah seperti tak berpulang; tubuh mereka ada tetapi hati mereka entah di mana.
“Ini sudah beda generasi, nek. Sudah beda generasi dengan generasi nini dahulu. Kami generasi milenial, nek.”
Mata nini lebur.Tangisnya mengembun tebal. Esok hari, ia sendiri yang ingin berpulang daripada menunggu kepulangan.
/V/
Pulanglah. . . Pulanglah.. Pulang ke tubuh yang melahirkamu..
Doa-doa mengalir surut.Hanya lantunan ayat suci yang terus mengalir melalui sebuah audio.Rumah lenggang. Nini hilang! Bersama semua luka hati  dan kemodrenan yang telah merenggut anak cucunya.
“Ni, mau ke mana?”
“Ni, kami adalah anakmu yang masih mengiba dan mengharap doa-doa mengalir dari lidahmu.Bahwa maaf juga belum sempat kami suguhkan ke pangkuanmu, ni.”
“NI. .!”
Senyap.Nini masih diam.
“Anak cucuku adalah orang-orang yang lidahnya basah mengaji.Sedangkan kalian bukan.
“Anak-anakku selalu kuajari bagaimana lelaku hati dan ringkih tubuh menghamba tuhan.Bagaimana bersujud dan berdoa.Anak-anak yang selalu rajin shalat.Anak-anak yang shaleh dan shalehah.Sedangkan kalian bukan.
“Anak-anakku bukan orang-orang gila, orang-orang pengadu.Orang-orang yang tiap harinya hanya dihabiskan membaca teks hp bukan ayat ilahi.
“Anak-anakku bukan penganggur dan pelupa diri.Anak-anakku tak pernah kuajari untuk melupa agama.Melupa tuhan.”
Lalu kembali diam. Menangis kecil.
“Di mana letak ALLAH!di tanganmu atau hatimu?” Nini mengancam.Suaranya keras.
“DI MANA!”


Jum’at, 21 September 2018
Glosarium Banjar
  1. Amang             : paman
  2. Acil                  : tante
  3. Kayi                 : kakek
  4. Nini                 : nenek
  5. Datu                : mbah
  6. Ulun                : aku (halus)
  7. Pian                 : kamu (halus)


Komentar

Postingan Populer