10 Makna alfatihah
10 Makna alfatihah
MERASAKAN kelembutan dan kehalusan bahasa Al-Qur’an
menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang beriman ketika membacanya. Sebab
selain makna dan kandungannya yang berlaku sepanjang masa hingga Hari Kiamat,
Al-Qur’an juga memiliki daya i’jaz (the
power of mukjizat) pada setiap pemilihan kalimat, kata, serta dalam
deretan huruf-huruf Al-Qur’an sekalipun.
Sensani lathaif
at-tafsir lughawiyah (kehalusan tafsir) tersebut dilukiskan
secara detail oleh Mufassir Muhammad Ali ash-Shabuni ketika menerangkan
kelembutan ayat-ayat dalam Surah al-Fatihah.
Hal ini bisa dibaca lebih
jauh dalam kitab Tafsir Ayat al-AhkamMin al-Qur’an (Cetakan
Dar ash-Shabuni, Kairo: 2007, cetakan pertama). Berikut penjelasannya:
1. Allah Ta’ala memerintahkan ta’awudz (membaca a’udzu
billahi min asy-syaithani ar-rajim) sebelum membaca al-Qur’an.
Menurut Ja’far
ash-Shadiq, perintah ta’awudz tersebut
hanya dikhususkan ketika membaca al-Qur’an, sedang hal itu tak diwajibkan untuk
ibadah dan amal kebaikan lainnya.
Hikmahnya antara lain,
sebab terkadang lisan seorang hamba bergelimang dosa dengan dusta, ghibah,
atau mengadu domba. Olehnya, Allah menyuruh orang itu ber-ta’awudz agar
lisannya menjadi bersih kembali sebelum membaca ayat yang turun dari Zat Yang
Mahasuci lagi Bersih.
2. Adanya ayat basmalah di
ayat pertama. Yaitu lafadz bismillahirrahirrahmanirrahim.
Ayat basmalah yang mengawali surah al-Fatihah
memberi indikasi yang terang agar seluruh amal perbuatan seorang Muslim juga
wajib didahului dengan bacaan basmalah. Hal ini selaras
dengan hadits Nabi.
“Setiap urusan kehidupan yang tidak diawali dengan ucapan
bimillahirrahmanirrahim maka dia akan terputus.” (Riwayat Abu Daud).
3. Pengucapan lafadz “bismillah”
(dengan nama Allah) dan tidak mengatakan “billahi” (dengan (zat) Allah).
Meski ada yang menganggap penyebutan keduanya bermakna sama., namun yang benar
adalah masing-masing memiliki arti yang beda. Bahwa lafadz “bismillah”
dipakai untuk mengharap berkah dari Allah (tabarruk) sedang “billahi”
digunakan ketika seseorang bersumpah atas nama Allah (qasam).
4. Penamaan yang berbeda antara lafadz “Allah”
dan “al-Ilah”. Nama “Allah” khusus dipakai untuk nama
agung Allah Tuhan semesta alam. Tak ada sekutu bagi-Nya dan tak ada sesembahan
selain diri-Nya (la ma’buda bi haqqin illa ilaihi). Sedang nama “al-Ilah”
digunakan untuk menyebut Tuhan secara umum. Berhala yang disembah oleh orang
musyrik, misalnya, juga dinamai dengan sebutan “al-Ilah”.
5. Kandungan makna ayat “bismillahirrahirrahmanirrahim”.
Di antaranya adalah memohon berkah dengan nama Allah dan pernyataan ketinggian
Zat Allah. Ayat ini sekaligus berfungsi sebagai penangkal jitu untuk seluruh
makar jahat setan kepada manusia. Sebab setan akan kabur acap lafadz basmalah ini
dibaca. Lebih jauh, menurut Ali ash-Shabuni, ayat ini mengandung makna
penegasan kepada orang-orang musyrik yang selama ini mengagungkan nama-nama
selain Allah dalam setiap urusan mereka.
6. Adanya huruf alif lam (al-makrifah)
pada kata “al-hamdu”. Suatu pujian yang sempurna kepada
Allah. Oleh Ali ash-Shabuni, pujian tersebut dengan sendirinya meredupkan
bahkan melenyapkan seluruh yang lain di luar Sang Khaliq (istighraq
al-jinsi). Huruf alif lam (al-makrifah)
tersebut juga mengisyaratkan sanjungan kepada Allah yang bersifat
kontinuitas, bukan suatu pujian yang dibuat-buat apalagi dipaksakan.
7. Penyebutan “ar-Rahman ar-Rahim”
yang datang setelah lafadz “Rabb al-Alamin”. Sebab
boleh dikata nama “Tuhan semesta alam” menyiratkan makna kesombongan,
kekuasaan, dan keperkasaan. Kesan seperti itu terkadang melahirkan kebimbangan
bahwa Tuhan itu tidak menyayangi hamba-Nya. Ujungnya, sangkaan sepintas itu
memunculkan putus asa dan ketakutan seorang hamba. Untuk itu, lafadz tersebut
menguatkan bahwa Rabb yang dimaksud adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
bagi seluruh makhluk-Nya.
8. Penyebutan “iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’in”. Penyebutan dhamir khithab (kata
ganti kedua) menunjukkan dialog kedekatan hamba dengan Rabbnya. Allah tak
memiliki jarak untuk mengabulkan doa dan memberi pertolongan kepada
hamba-hamba-Nya. Abu Hayyan al-Andalusi, pengarang kitab Tafsir al-Bahru
al-Muhith menambahkan, seolah-olah orang tersebut menghadirkan Allah secara
nyata di hadapannya ketika sedang bermunajat kepada-Nya.
9. Penggunaan kata jamak dalam lafadz “na’budu” (kami
menyembah) dan “nasta’in” (kami memohon pertolongan). Sebuah
pemilihan kata yang sangat halus kala seorang hamba datang mengetuk perkenan
Allah, Zat Yang Maha Pencipta. Seolah ia berkata, wahai Tuhanku, aku tak lain
adalah hamba-Mu yang papa lagi hina. Tak pantas bagiku menghadap seorang diri
di hadapan cahaya kemuliaan-Mu. Untuk itu aku memilih berbaris bersama
orang-orang yang juga memohon kepada-Mu dan ikut berdoa bersama mereka.
Terimalah doaku dan doa kami semua.
10. Penyandaran kata nikmat kepada Allah dalam
lafadz “an’amta” (yang Engkau beri nikmat). Sebaliknya,
kata marah (ghadhab) dan sesat atau penyesatan (dhalal)
tidak disandarkan kepada-Nya. Ini terlihat ketika Allah menyebut kata “an’amta
alaihim” (yang Engka beri nikmat atas mereka) tapi tidak mengucap “ghadhabta
alaihim”(yang Engkau marahi atas mereka) atau “adhlalta
alaihim” (yang Engkau sesatkan atas mereka).*/Masykur
Abu Jaulah
Sumber:
https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2015/05/18/69875/10-rahasia-kandungan-surat-al-fatihah.html
Komentar
Posting Komentar